Selain pasar apung, dan patung bekantan, salah satu landmark yang jadi kebanggaan masyarakat kota Banjarmasin adalah Menara Pandang yang terletak di tepi sungai Martapura. Bangunan yang diresmikan 6 Juni 2014 ini terletak di kawasan yang lazim disebut Siring Pierre Tendean. Bangunannya terdiri atas empat lantai. Lantai satu berupa ruang terbuka yang memungkinkan orang bisa lalu-lalang. Lantai dua merupakan ruang rapat, lantai tiga merupakan ruang pamer kerajinan, dan roof top. Letaknya yang strategis Menara Pandang dan Siring menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang dan menikmati suasana di salah satu tepian sungai Martapura ini.
Siring Tendean jadi semacam oase kerinduan masyarakat Banjarmasin atas ruang publik di kota yang tak memiliki alun-alun itu. Dan jika kita mencermati beberapa pemberitaan media lokal di sepanjang 2014, kita akan menemukan harapan akan itu.
Adalah Ayyub, seorang aktivis budaya urban yang sudah bertahun-tahun berusaha mendinamisasi kehidupan komunitas di Banjarmasin sangat berharap bisa memanfaatkan salah satu fasilitas publik di sekitar Menara pandang. Tepatnya di lantai bawah yang cukup memadai jika dijadikan tempat penyelenggaraan bazaar seni. Ayyub dengan kolektif seni urban menghimpun teman-temannya dengan nama ‘Sepakat Berserikat’ ingin menggelar pameran produk kreatif di Menara Pandang. Namun, proposal itu akhirnya harus ditolak setelah sekian minggu digantung dengan alasan kegiatan Ayyub dan kawan-kawannya merupakan aktivitas jual beli. Niat Ayyub dan kawan-kawannya dianggap tidak sesuai dengan peruntukkan Menara Pandang yang diprioritaskan untuk kegiatan sosial.
Terang saja Ayyub kecewa. Namun begitu, semangat anak muda ini masih tetap menyala dan berharap ada kebijakan yang bisa memberi jalan mulus. Ia berharap pemerintah kota Banjarmasin bisa menampung usulannya sekaligus bisa mengakomodasi gagasan urban art sebagaimana pemerintah kota mau memfasilitas ruang pamer bagi hasil kerajinan khas Banjarmasin beserta kreasi seni budayanya.
