Banjarmasin, Kota dalam Genggaman Sungai

Seperti kita ketahui bersama peradaban di dunia banyak yang berkaitan dengan sungai. Peradaban Lembah Hindus, Mesopotamia dengan Sungai Eufrat dan Sungai Tigris, lalu sungai Kuning (Huang Ho) dan sungai Yang tse di Tiongkok juga Sungai Nil di Mesir adalah relasi sungai dan masyarakat yang membentuk corak kebudayaannya sendiri. Begitu pula peradaban masa lalu di Indonesia. Salah satunya adalah Kerajaan Banjar yang lekat dengan Sungai Barito dan Sungai Martapura.

Sejak terlibat dalam program IKKON (Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara) Bekraf yang menempatkan kami di Banjarmasin, untuk pertama kalinya saya melihat begitu berlimpah vitalitas yang dapat kita temukan di sungai. Tidak berlebihan jika slogan kota ini adalah kota seribu sungai mengingat banyaknya kali yang membelah kota dan membuat lajur-lajur di daratan. Seolah digenggam sungai, Banjarmasin sejak berdirinya tak bisa lepas dari sejarah aliran air yang membentuk peradabannya.

Berdiri di abad XVI, sultan pertama Kerjaan Banjar, Sultan Suriansyah membuat istananya di Sungai Kuin yang bertemu langsung dengan Sungai Barito. Setelah sebelumnya berselisih dengan Pangeran Tumenggung, pamannya sendiri yang memimpin Kerajaan Daha. Berkat bantuan Kerajaan Demak, Sultan Suriansyah berhasil mengalahkan kerabatnya sendiri dan mendirikan kerajaan Banjar.

Sungai sebagai jalur transportasinya dengan sendirinya membentuk budaya orang Banjar. Kemampuan membuat jukung (perahu) sebagai alat transportasi utama, pembangunan rumah di atas permukaan air dan di sepanjang garis sungai, aktivitas perdagangan, keluar masuknya arus informasi dan barang adalah keniscayaan bagi orang Banjar dalam membentuk budaya sungai. Hal itulah yang memengaruhi perkembangan teknologi, lanskap kota, hingga sistem irigasi, dan benteng pertahanan sebagaimana bisa kita lihat di Benteng Tatas, yang sekarang menjadi Kompleks Masjid Sabilal Muhtadin.

Orang Banjar juga dikenal sebagai penakluk rawa. Ada tiga system yang mereka kembangkan untuk menyiasati sungai dan memanfaatkan rawa sebagai lahan pertanian yakni anjir atau tatasan, handil, dan saka. Anjir adalah kanal yang dibuat untuk menyambungkan dua sungai besar. Dibanding anjir, lebar handil lebih kecil. Dibangun untuk mengalirka air ke kawasan pertanian. Sedangkan saka merupakan kanal terkecil yang dibangun oleh keluarga. Handil biasanya dibuat oleh bubuhan atau sistem organisasi sosial di Banjar yang berkaitan dengan pola pemukiman dan hubungan kekerabatan. Menurut Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, sistem irigasi ini khas Banjar.

Bubuhan sebagai sistem organisasi sosial Banjar turut membentuk tata kepemimpinan di Kerajaan Banjarmasin, selain membentuk identitas kota juga penyokong kekuasaan itu sendiri di masa lalu. Hal-hal inilah yang nantinya dielaborasi oleh tim IKKON yang dapat jatah di Kota Banjarmasin. Teks: Ahmad Khairudin / Foto: Vebrio Kusti Alamsyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X