Geliat Usaha di Kecamatan Banjar Utara

Selama dua pekan pertama di berada di Tanah Banua (Banjarmasin-ed), agenda Tim IKKON diisi dengan rangkaian survai potensi yang kiranya dapat dikembangkan dari kota “seribu sungai” ini. Usai jelajah Lok Baintan serta berkenalan dengan dua pelaku usaha di Kuin Utara, di hari ke-4 survai potensi kami difasilitasi pemkot Banjarmasin untuk bertemu dengan puluhan penggiat usaha di Kecamatan Banjar Utara. Untuk efisiensi waktu, kami dipertemukan dalam satu forum di kantor kecamatan. Ketika kami datang, semua produk telah ditata rapi di atas meja, dikelompokkan sesuai domisili pembuatnya.

Sebagai kota sungai, kami dipertemukan lagi dengan produk berbahan ikan, ada kerupuk ikan haruan, kerupuk udang dan amplang. Sayangnya, kemasan kerupuk di sini terbilang serupa dengan kerupuk Haji Maspah yang kami temui tempo hari. Pembedanya hanya terletak pada label kerupuknya saja. Berbeda dengan amplang parti ikan tenggiri. Selain sudah dikemas dengan cukup baik, Amlang Parti disajikan dalam kemasan siap saji.

Di sisi lain, tersedia pula aneka makanan ringan produksi rumahan seperti kacang selimut, kue semprong yang bentuknya serupa dengan egg roll, kue sempring yang citarasanya sebelas dua belas dengan kue sagu, kacang hijau goreng dan olahan keripik pisang. Dari sekian banyak ragam kuliner yang disajikan, belum ada produk makanan yang menonjolkan ciri khas Banjarmasin. Semua jajanan yang diperlihatkan hampir serupa dengan camilan di Jawa sana.

Beranjak ke meja lain, kami bertemu produk kain sasirangan dari Nida Sasirangan. Di luar Kalimantan, mungkin belum banyak yang tahu bahwasanya nama sasirangan berasal dari kata sirang yang berarti menjelujur. Karena itulah jika ditelisik lebih lanjut, dipastikan Anda akan mendapati bekas tusukan jarum di sepanjang motif sasirangan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa di awal kemunculannya, sasirangan dikenal sebagai kain pamintan alias kain permintaan. Kain yang dipercaya mampu mengobati berbagai macam penyakit ini dibuat secara ekslusif, motif, doa hingga pemilihan pewarnanya. Semua komponen kain pamintan disesuaikan dengan riwayat permintaan dan pengobatan dari sang peminta.

Di awal kemunculannya, kain pamintan digunakan sebagai ikat kepala ataupun kerudung. Ada pula yang digunakan bersamaan dengan tenun sarigading. Kain obat ini nantinya dikenakan saat matahari akan tenggelam. Waktu penggunaannya sebentar saja, sebanding dengan sekali waktu yang dihabiskan saat menginang atau menghisap sebatang rokok. Selain dibuat dengan ritual khusus, kain pamintan harus dibuat oleh keturunan Kerajaan Banjar yang dikenal dengan sebutan orang Candi Agung Amuntai (Redho, 2016).

Sebagai sarana pengobatan, semua pewarna kain pamintan diambil dari alam. Jika Anda pernah mengamati kain cantik ini, umumnya akan ditemukan tiga warna dasar yang umum terdapat pada sasirangan. Ada kuning, hijau dan merah. Dahulu warna kuning kain pamintan yang diambil dari kunyit dan temulawak dipercaya dapat mengobati penyakit kuning, warna hijau dari daun pundak atau daun pandan dipercaya untuk mengobati kelumpuhan, sedangkan pamintan merah yang diwarna meggunakan mengkudu, gambir ataupun kesumba dipercaya dapat mengobati obat sakit kepala hingga insomnia (Orie, 2017). Tatkala diwarna dengan rempah nusantara, ketiga komponen warna dasar tersebut terlihat sedap dipandang mata. Sayangnya karena masalah harga dan waktu pengerjaan yang lebih lama, kini sebagian besar pengrajin sasirangan beralih menggunakan pewarna kimia. Begitu pula dengan Nida Sasirangan, salah satu brand sasiragan di Kecamatan Banjar Utara yang kami temui pagi tadi.

Seperti sasirangan pada umumnya, Nida Sasirangan menawarkan aneka rupa sasirangan dengan warna terang. Hanya saja brand sasirangan yang sudah beroperasi sejak tahun 1996 ini mengklaim bahwasanya sasirangan mereka tidak luntur saat dicuci. Garansi inilah yang membuat harga sasirangan di tempat ini dibanderol sedikit lebih tinggi, mulai Rp 80.000,- hingga Rp 150.00,- tergantung pilihan bahan yang digunakan.

Seiring perkembangan jaman, kini sasirangan lebih berkembang untuk keperluan sandang. Sayangnya, penggunaan sasirangan masih begitu formal. Kalau tidak dibuat seragam, umumnya hanya dikenakan saat menghadiri undangan. Selebihnya, produk turunan sasirangan yang biasa digunakan dalam aktivitas keseharian terbilang minim. Yang paling sering terlihat hanya kaos ikat celup yang motifnya dibuat serupa dengan motif sasirangan.

Di meja lain, kami juga menemukan produk menarik dari Alalak Selatan. Ada miniatur jukung buatan Pak Nasruloh dan juga miniatur kapal pesiar berukuran cukup besar karya Pak Sadikin. Ada yang unik usai menelisik cerita dibalik pembuatan miniatur alat transportasi air ini. Pasalnya badan miniatur jukung yang kerap dijual di Pasar Terapung Alalak Selatan ini ternyata dibuat dari limbah kayu hutan, salah satunya dari kayu meranti, sedangkan atapnya dibuat dari daun nipah, sejenis pohon palem yang tumbuh liar di tepian sungai.

Meski dibuat dari limbah, namun eksekusi souvenir yang satu ini terbilang rapi, baik dari segi bentuk, hasil amplas maupun komposisi pewarnaannya. Tercatat hanya ada kesalahan kecil dalam pemilihan bahan miniatur jukung yakni digunakannya kertas minyak sebagai bahan miniatur nasi kuning. Di pasar terapung, nasi kuning ikan haruan merupakan alternatif sarapan yang kerap dijajakan acil, sebutan untuk bibi yang berjualan di atas jukung.

Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk mendapatkan miniatur jukung dari Alalak Selatan ini. Dengan menyisihkan Rp 100.000,- hingga Rp 150.000,- saja, Anda sudah dapat membawa pulang satu diantaranya. Jika miniatur jukung banyak dijual di pasar terapung, miniatur kapal pesiar berukuran besar dibuat dengan sistem made by order. Kapal yang dibuat selama 2,5 hingga 3 bulan lamanya ini dibanderol dengan kisaran harga 1,5 hingga 2 juta rupiah, tergantung kerumitan dan model kapal.

Selain itu ada pula produk olahan purun seperti tikar, topi dan tas belanja yang dikenal luas dengan sebutan bakul. Purun merupakan jenis rumput yang tumbuh subur di lahan gambut. Populasi tanaman bernama latin Eleocharis dulcis ini terbilang melimpah di Pulau Kalimantan, salah satunya di daerah Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Di tangan pengrajin Karang Lansia Sejahtera, bahan alami ini dianyam dengan begitu rapi. Tikar yang dihasilkan pengrajin berusia senja ini konon dapat bertahan hingga satu dasawarsa. Sayangnya pengrajin purun di Kecamatan Banjar Utara masih membidik segmen lokal sehingga harus bersaing ketat dengan produk yang dihasilkan oleh pengrajin purun dari Marabahan. Padahal jika berani berinovasi, bukan tidak mungkin produk purun Banjar Utara mampu menembus segmentasi pasar yang jauh lebih tinggi.

Di ujung timur meja pengrajin, kami bertemu produk gelas pasak bumi karya Pak Sukarjani. Eksekusi produk gelas yang dibuat dari akar tanaman eurycoma longifolia terbilang baik. Selain menawarkan hasil amplas yang begitu mulus, gelas jamu yang satu ini dilengkapi dengan corak hiasan yang cukup elegan. Sayangnya dengan kualitas sebaik ini, produk Pak Sukarjani masih dijual dengan harga mentah yang begitu murah. Teks: Retno Septyorini / Foto: Vebrio Kusti Alamsyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X