“Kue… Kue…”

Saat mengetahui akan bertugas selama beberapa bulan di Tanah Banua (Banjarmasin-ed), tak ada satu pun kawan yang menyarankan saya untuk membawa pulang makanan ringan. Semua menyarankan sasirangan. Begitupun dengan Erna, sahabat saya yang punya saudara di Banjar sana. Saat pulang ke Jogja, ia hanya membawa pulang sasirangan saja. Pakde dan om saya yang kebetulan pernah ditugaskan di Banjarmasin pun hanya mewanti-wanti agar saya tidak terlewat mencicipi soto Bang Amat dan bebek goreng yang sayangnya saya lupa apa namanya.

Setelah sampai di Banjarmasin, baru tahulah saya kalau alat transportasi publik di sini terbilang kurang memadai. Hanya ada kol kuning (angkutan kota berwarna kuning) dengan jalur yang kurang bersahabat untuk pendatang maupun wisatawan. Jadilah dua hari pertama di sini, jelajah kuliner saya hanya berakhir di sekitar tempat kami mengingap yang bisa dicapai dengan berjalan kaki. Menunya pun mirip kuliner di Jawa, seperti siomay, batagor, martabak manis, mie ayam dan berbagai olahan mie instan. Baru di hari ketiga, sesaat setelah menyapa Lok Baintan, kami diantar perwakilan Dinas Koperasi dan UMKM (Dinkop) Kota Banjarmasin menuju dua sentra oleh-oleh khas Tanah Banua.

Lokasi pertama yang kami datangi adalah sentra kerupuk Haruan dan udang Haji Maspah yang berada di Jalan Kuin Utara. Produksi kerupuk Haji Maspah tergolong cukup stabil dengan kemampuan produksi 10 kg/hari. Sayangnya, sekilas melihat kemasan sekaligus menyimak cerita sang pemilik usaha, geliat produksi di tempat ini masih tergolong entry level yang belum naik kelas sama sekali. Padahal jika dilihat dari komposisi bahan yang digunakan, kerupuk Haji Maspah terbilang premium. Perbandingan ikan dan tepungnya sama rata, 1:1. Mendengar ceritanya saja, saya bisa membayangkan betapa enaknya kerupuk ikan dengan bahan demikian.

Sayangnya di rumah produksi ini tidak menyediakan kerupuk matang yang dapat langsung dicicipi wisatawan. Saya menemukan kerupuk haruan di lain hari, saat seorang kawan mendadak menawari untuk icip-icip Lontong Orari. Karena tidak ada yang bisa dicicip di rumah produksi ini, pada akhirnya saya hanya menanyakan beberapa hal terkait produksi dan sedikit hitungan laba rugi. Tentu tidak langsung bertanya terkait hitungan dalam angka. Namun jika dikalkulasi dari nilai ekonomi yang tersaji, bisa dibilang produk di sini belum menawarkan penambahan nilai ekonomi yang cukup berarti. Belum lagi soal kemasan yang hampir serupa antara rumah produksi satu dengan yang lainnya. Hanya berbeda di label nama kerupuknya saja.

Padahal rasa kerupuk haruan terbilang enak, sebelas dua belas dengan kerupuk ikan khas Riau. Bagi saya, hal ini menjadi catatan tersendiri, pun seharusnya menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak terkait. Jika serius digarap, bukan tidak mungkin kerupuk haruan bisa menjadi pilihan camilan saat jalan-jalan atau bahkan tambahan referensi buah tangan yang bisa dibawa pulang wisatawan. Daripada diam saja, bisa nyemil kerupuk saat susur sungai kan lumayan juga.

Usai mendengar cerita perkerupukan di Kuin Utara, kami dibawa menuju rumah produksi makanan ringan Afika. Afika merupakan sebuah brand baru yang diusung sebuah rumah produksi kue kering ternama di Tanah Banua. Sayangnya nama Afika belum menggaung di luaran sana. Nama Afika sendiri diambil dari gabungan nama puteri sang pemilik toko, Ana dan Fika. Perjalanan kali ini mempertemukan saya dengan Ibu Ana, generasi kelima penerus usaha Afika.

Ada sedikit perasaan menggelitik saat berkunjung ke sini. Pasalnya pertama kali datang yang dipamerkan bukan kue-kue yang tengah diproduksi, melainkan oven tradisional berukuran raksasa yang dibuat lebih tinggi dari ukuran manusia dewasa pada umumnya. Semacam liputan oven dulu.

Konon, oven berdiameter hampir tiga kali tiga meter ini sudah berumur 100 tahun. Masuk akal juga sih, pasalnya Ibu Ana merupakan generasi kelima yang meneruskan produksi kue kering ini. Sore itu Bu Ana datang dengan membawa aneka kue kering yang ditempatkan di dalam toples. Meski bentunya biasa saja, namun citarasa kuenya cukup pas di lidah saya. 

Sore itu kami dikenalkan dengan tiga produk andalan Afika, ada kue sempring, kue ilat sapi dan kue gambir. Kue-kue di sini dibuat dalam dua versi berbeda, premium dengan harga Rp 90.000/kg dan biasa dengan harga Rp 45.000,- hingga Rp 50.000,- per kilogram. Pembeda keduanya terletak pada komposisi bahan, dimana versi premium dibuat dengan komposisi telur bebek yang lebih banyak. Ya, telur bebek, bukan telur ayam seperti pembuatan kue pada umumnya. Mari kita tengok satu per satu.

Bentuk kue sempring mirip dengan kue sagu keju, bedanya sagu keju dicetak bulat, sedangkan sempring dicetak memanjang. Kue andalan Afika ini menawarkan rasa manis yang cukup kuat. Karena menggunakan telur bebek yang lebih banyak, sempring versi premium bertekstur lebih empuk. Sayangnya, sempring versi premium ini mudah rusak ketika tertimpa sehingga baru dibuat saat ada permintaan saja. Lain halnya dengan sempring versi biasa, yang diproduksi secara reguler sehingga dapat ditemukan di berbagai pusat oleh-oleh di sekitar Tanah Banua sana. 

Kue kedua bernama ilat sapi. Kue ini bercitarasa manis, namun level manisnya masih dibawah sempring. Untuk versi premiumnya, kue bertabur biji wijen ini dibuat pipih, mirip dengan ilat alias lidah sapi. Sedangkan versi biasa, kue berwarna cokelat ini dibuat dalam bentuk bulatan-bulatan kecil. Kue ilat sapi menawarkan tekstur padat sehingga tidak mudah rusak saat tertimpa. Karena alasan inilah kue ini diproduksi secara berkala dalam jumlah yang cukup banyak. Baik versi premium maupun biasa dapat ditemui di pusat berbagai oleh-oleh di sekitar Banjarmasin.

Kue yang ketiga adalah gongnya. Namanya kue gambir. Ini favorit saya. Seperti halnya sempring dan liat sapi, kue gambir juga dibuat dalam dua versi berbeda, besar dan kecil. Pengelompokan kue ini bukan dilihat dari segi kualitas, namun lebih menyoal pada ukuran, kapasitas produksi dan citarasa. Kalau berbicara harga, semua dibanderol sama, Rp 90.000/kg.

Kue gambir berukuran besar menawarkan citarasa yang hambar. Ukuran yang besar tidak memungkinkan untuk langsung dinikmati, melainkan harus dipotong terlebih dahulu. Umumnya kue gambir besar dipotong menggunakan ulekan ataupun alat pemotong pinang yang dikenal luas dengan sebutan kancip. Usai dipotong, kue gambir besar juga harus direndam dalam air panas. Setelah ditiriskan, barulah kue ini dapat dinikmati. Umumnya kue gambir besar disantap bersama dengan susu. Sayangnya saat berkunjung ke rumah produksi kami tidak bertemu dengan kue kuno yang satu ini. 

Lain halnya dengan versi mungilnya, yang kebetulan dibawa Ibu Ana. Kue berbentuk persegi berukuran sekitar setengah senti ini menawarkan citarasa yang lebih gurih. Kue gambir versi kecil terbilang cukup mengenyangkan sehingga dapat menjadi camilan pengganjal saat tidak sempat sarapan. Kalau membawa uang yang cukup saat menemukan kue mungil ini, pasti saya akan langsung beli. Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa selain sasirangan, ternyata Banjarmasin memiliki ragam makanan ringan yang rasanya cukup elegan. Mudah-mudahan bisa menjadi info tambahan saat kebingungan mau bawa pulang apa usai liburan di Banjarmasin. Teks: Retno Septyorini / Foto: Vebrio Kusti Alamsyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X